Wednesday, 18 December 2013

Hari yang terasa panjang dan waktu yang cepat berlalu ...

Aku sangat menikmati menyiapkan sarapan pagi untuk kalian karena cepat atau lambat pasti kalian akan memilih menu kesukaan kalian sendiri dan menolak menu yang aku siapkan.

Setiap pagi aku sangat "excited" memasak bekal untuk kalian bawa ke sekolah karena aku sadar tak berapa lama lagi kalian mungkin akan malu atau malas untuk membawa makan dari rumah dan lebih memilih untuk makan bersama teman-teman kalian.

Akupun sangat menikmati kericuhan dipagi hari saat harus mengantar kalian ke sekolah, karena aku ingin ada cerita nanti kelak saat kalian dewasa mengenai ini, mengenai hal-hal konyol yang kita lihat dijalan setiap pagi, mengenai obrolan-obrolan "ajaib" kita diatas motor.


Aku juga sangat menikmati kata "I Love You Too" yang keluar dari mulut kecil kalian, walaupun harus ku paksa terkadang untuk mengucapkannya, karena aku sadar suatu hari nanti kalian bisa saja tidak suka dengan cara pandangku dan berteriak "I Hate You" ke muka ku !

Tidak akan bisa ditukar dengan apapun menyaksikan kalian masuk kedalam kelas, bagaimana terkejutnya kalian saat aku tiba-tiba ada disekolah untuk menjemput, ataupun sekedar melihat kalian berinteraksi dengan anak-anak lain.

Kalian adalah anugerah, pemberian luar biasa yang dititipkan Tuhan kepada aku dan Ibu mu, aku tidak ingin melewatkan satu pun kesempatan bersama kalian.

Si Kecil kena Penyakit Gondokan / Gondongan



Sore, 
Jumpa lagi di catatan random saya ini hehehe, topik kali ini yang ingin saya bagi bersama anda adalah pengalaman saya mengenai penyakit gondokan atau gondongan pada anak-anak atau bahasa kedokterannya biasa disebut Mumps atau Parotitis. 

Pagi itu, rutinitas kami dimulai seperti biasa yaitu menyiapkan anak-anak ke sekolah, istri saya memandikan Malik anak pertama saya (5th) dan juga sekaligus Kamil adiknya (4th), sementara saya menyiapkan bekal untuk mereka bawa ke sekolah dan setelahnya langsung memanaskan motor. 

Semua berjalan normal saja sampai ketika Malik dipakaikan bedak dibagian lehernya dan tiba-tiba berteriak kesakitan, lalu istri saya meraba bagian yang sakit dan memang ada seperti benjolan kelenjar, saat itu ia berasumsi Malik terkena gondokan, tapi saya bilang mungkin itu bengkak biasa karena kelelahan. 

Sore harinya saat saya dikantor, istri pun mengabarkan bahwa suhu badan Malik panas, nah barulah kami mulai sedikit yakin bahwa benjolah tadi mungkin saja gondokan. 

Karena takut gondoknya akan menyebabkan nyeri berkepanjangan, sore itu juga Malik dibawa ke RS oleh istri saya, dan analisa dokter menyatakan bahwa memang itu adalah gondokan. 

Setelah saya browsing mengenai penyakit ini, ada dua kesimpulan data yang saya dapatkan : 
1. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan merupakan "Self Limiting Disease" atau penyakit yang sembuh sendiri tanpa diobati.

2. Jika sudah pernah terkena penyakit ini, akan kecil kemungkinan untuk bisa terkena lagi, karena tubuh sudah menyimpan/menciptakan imun untuk penyakit ini. 

Tapi, walaupun penyaki ini bisa sembuh sendiri tetep saya cari solusi supaya sakit atau nyeri yang dirasain si anak gak terlalu parah. Akhirnya dokter kasih antibiotik (mencegah terjadi komplikasi penyakit) Parasetamol (penurun panas dan pereda nyeri) serta CTM untuk membuat bengkaknya tidak terlalu besar. 

2 hari pertama Malik setiap 6 jam sekali naik suhu nya sampai dengan 38c , setelah diminumi parasetamol baru perlahan turun dan bis abermain seperti biasa, kemudian dia juga merasa sakit dibagian bawah lehernya yang juga akan hilang setelah diberi parasetamol dan obat-obatan tadi 

Barulah dihari ke 3 lehernya mulai membengkak hehehe... 

Dari beberapa referensi yang saya baca, anak yang terkena gondongan akan mengalami susah makan karena sakit dibagian leher tadi, tapi untungnya Malik mampu makan seperti biasa. 

Kemudian gondongan juga bisa menular melalui kontak langsung dan juga air liur, jadi untuk sementara Malik dan adiknya mendapat ekstra pengawasan dari kami, terutama mengenai alat makan dan minum, tidak boleh bergantian. 

Lucunya, saat saya ceritakan tentang penyakit ini ke Oom saya dan juga saya jelaskan bagaimana Malik dan adiknya harus diawasi ketat supaya tidak menularkan gondokannya, si oom justru punya pendapat berbeda,.

Menurut dia, lebih baik adiknya ditularkan saja supaya bisa menjadi imun dan lebih baik kena saat masih kecil ketimbang dewasa nanti 

Tapi kok saya ga tega ya heheheh, jadi biarlah secara natural jika Kamil memang harus terkena nantinya, dan mudah-mudahan tidak saat dia dewasa. 

Oh ya selama sakit ini malik juga izin dari sekolahnya selama 5 hari karena takut menularkan ke anak-anak lain. 

Alhamdulilah dihari ke lima, Malik sudah sembuh dan bisa beraktifitas seperti biasa lagi. 

Terakhir, saya sempat ditelpon ibu saya saat beliau tau mengenai cucunya yang sakit gondokan, dia menyarankan supaya diberikan BLAO disekitar bengkaknya. Nah saya sih nurut-nurut aja ( maksudnya mengiya kan saja supaya cepet hehehe) 

Sambil penasaran, saya cari apa hubungannya antara blao dengan penyakit ini, saya gak nemu. Tapi, ada satu penjelasan yang menurut saya masuk akal tentang blao ini. 

Jadi si anak dibaluri blao supayaa dia malu dan gak mau main keluar rumah karena wajahnya yang belepotan, dengan demikian si anak akan terpasa dirumah dan beristirahat, sekaligus tidak berinteraksi dan menularkan penyakit tersebut heheheh ... iya juga ya ... 

18 Des 2013



Thursday, 21 February 2013

Pengalaman Sidang Tilang di Pengadilan

ppic: solicatlantara.blogspot.com


Jadi begini... kira-kira 2 minggu lalu saya kena tilang dikawasan Cilandak. Waktu itu sedang diadakan razia oleh polisi lalu lintas tepat didepan gedung Talavera Cilandak, Jakarta Selatan.

Nah, apesnya saya kena diberhentiin, yaudah deh saya langsung kebayang "wah urusan deh nih". Karena kebetulan saat itu SIM saya masih hilang (keselip ga tau dimana).

Yaudah deh singkat cerita, siang itu saya ditilang dan bakalan disidang 10 hari kemudian, yaitu kemarin tanggal 15 Febuari 2013.

Rasa BT plus kesel sambil sedikit deg-degan campur aduk, maklum semenjak tahun 2006 saya mulai rutin naik motor, ya baru ini sekali-sekalinya kena tilang dan harus dibawa ke pengadilan.

Sejak 2006 terhitung saya 5 kali kena tilang, 2X dilepas karena motor masih baru (baru sebulan beli) belom sempet bikin SIM, 1X dilepas karena surat-surat lengkap dan saya cuma salah masuk jalur mobil beberapa meter sebelum bunderan HI.

Yang ke-4 saya kena jam 1 pagi didepan pasar Blok-A dan digiring sama oknum polisi kebelakang Polres, disitu didata dalam gelap bareng 4 bikers lain, malesin banget bayar aja deh ditempat 50ribu. Lah ini yang ke-5 kena deh ke sidang heheheh...

Hari yang ditungu-tunggu tiba, saya udah siap-siap mau berangkat jam 7 pagi, soalnya sidangnya mulai jam 10 dan kata temen-temen sebaiknya dateng pagi-pagi banget supaya antrinya gak parah-parah amat.

Tapi pagi itu ada kabar duka datang, salah seorang sepupu saya meninggal dunia, saya harus melawat dan menjemput Ibu saya dulu sebelum dateng ke persidangan. Akhirnya jam 09 saya cabut ke Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan di Jalan Ampera, Cilandak Jaksel.

Wuiiiih dari jarak 500 Meter udah macet dan padat kendaraan, yang parah apa? Calo buanyaaak banget heheheh. Akhirnya saya parkir di POM Bensin depan pengadilan, saya tiba sekitar pukul 10:20. Saya langsung diserbu Calo dengan iming-iming bakal cepet prosesnya, 20 menit selesai, gak antri dll.

Tapi saya emang dari awal penasaran, pengen tau kayak apa sih ini sidang tilang, saya tolak calo-calo tersebut dengan baik-baik sambil mengatakan saya mau belajar, mau tau kaya apaan rasanya.

Sampe di POS, sudah ada sekitar 100-150an orang yang antri, BUSET !! dapet jam berapa nih gw, begitu deh kira-kira dalam hati. Saya langsung menuju POS-1 tempat penukaran surat tilang dan dapet nomer antrian. Saya dapet urutan 488, semmentara waktu itu baru nomer 300an.

Tapi ternyata cepet kok, tidak sampai 45 menit nomer saya dipanggil deh, langsung ke loket-2 bayar denda (1 Pasal Rp,80,0000) STNK saya balik deh heheheh... !!

Yagitudeh,,, mudah-mudahan bermanfaat yes !



Thursday, 31 January 2013

Eh, Kemana Perginya Layar Tancep ya?



Tunggu... sebelum baca tulisan ini, harap dimengerti ya kalo ternyata sebenarnya di bagian-bagian lain Jakarta ternyata Layar tancap masih banyak ditemukan, maklum saya jarang jalan-jalan... hihihihi

Jadi begini, waktu usia saya sekitar 13 - 14 tahun atau kelas 1 - 2 SMP, saya sering nangis-nangis minta izin ke Ibu saya untuk diizinkan ikut begadang sama teman-teman lingkungan rumah yang rame-rame mau nonton layar tancep.

Pertamanya pasti ibu saya tiak mengizinkan, dengan alasan bermacam-macam deh pokoknya, dari mulai takut filemnya berbau porno sampai dengan angin malam yang bisa bikin saya masuk angin, maklum deh soalnya layar tancep ini memang digelar dilapangan terbuka yang angin nya ekstra kenceng.

Tapi setelah saya janjikan bahwa kalo pas adegan "unyu" saya tutup mata dan saya ambil jaket super tebel serta kupluk atau topi untuk obat kedinginan, Ibu saya luluh jugak deh, "habis nonton langsung pulang, gak nongkrong-nongkrong lagi" begitu pesannya hehehe...

Singkatnya, malam itu saya dan teman-teman sekitarr 10 orang atau lebih akan bareng-bareng jalan kaki menuju tempat digelarnya layar tancep. Tahun itu sekitar 1994, biasanya kalau ada yang "hajatan" pasti hampir selalu mengadakan acara nonton layar tancap.

Suasana sekitarnya pun selalu sama, remang-remang cenderung gelap, suara mesin pemutar film yg berisik, suara film yang stereo (katanya), anak-anak muda berpasangan, ada yang sibuk main koprok, sampai dengan barisan penjual kacang dan bajigur yang selalu hadir dan berharap-harap cemas supaya enggak turun hujan, maklum walaupun yang turun cuma gerimis acara ini bisa bubar alias Misbar (Gerimis Bubar)

Film-film yang diputar pun cenderung sama, mulai dari serial silat Saur Sepuh, Tutur Tinular sampai dengan film-film nya Oom Barry Prima : )

Biasanya film diputar sampai pukul 01:00 atau 02:00 pagi, yang diputar kayaknya bisa sekitar 3-4 film atau lebih. Saya pun  cukup menikmati masa-masa itu, malahan filmnya jarang saya tonton, yang lebih saya ingat justru saat-saat saya  bersama teman-teman, patungan beli kacang, beli bajigur dan bandrex he he he ...

****************

Sekarang, sepertinya sudah sangat jarang saya mendengar anak-anak ABG nonton layar tancep. Hiburan kampung ini seakan sudah gak laku dan ditinggalkan , gaung-nya sudah tidak kedengaran lagi. Penyebabnya (menurut saya) bisa bermacam-macam.

Diantaranya mungkin karena saat ini bisa dibilang hampir setiap rumah sudah punya yang namanya DVD player yang memungkinkan bagi mereka untuk nonton filem apa aja kapan aja, gausah nunggu layar tancep.

Dan yang mungkin paling "telak" adalah fakta bahwa saat ini keluarga-keluarga yang mengadakan "hajatan" dikampung-kampung memang lebih memilih untuk mengadakan Dangdutan ketimbang menggelar layar tancap.

Bagaimanapun, saya bangga pernah ada dijaman tersebut, sebagai anak kampung yang rela jalan jauh-jauh cuma buat nonton film yang saya tonton juga enggak tuh.

Paling tidak nanti saya bisa ceritakan ke anak-anak saya mengenai layar tancap ini, bahwa hiburan ini pernah menjadi salah satu yang paling digemari dijaman nya : )

Saya dan Si Doyok




Pagi itu usai mandi dan sarapan seperti biasa saya langsung lari ke ruang tamu dan mengacak-acak tumpukan koran, satu persatu saya perhatikan tanggalnya, manakah edisi terbaru dari Pos Kota hari ini. Maklum saja dirumah saya dulu suka tercampur-campur edisi korannya, karena yang baca suka males ngelipet.

Saya bukan mau baca berita harga beras naik atau Presiden meresmikan proyek klompencapir, tau apa saya tentang semua itu? lah wong umur saya paling baru 5 tahunan. Yang saya cari dari Pos Kota setiap hari adalah Koran Doyok.

Sedikit sekali yang saya ingat tentang hari-hari  jaman kecil saya itu, beruntung bahwa kegembiraan saya membaca Lembergar Pos Kota atau yang lebih populer dengan sebutan koran Doyok ini masih terjaga rapih didalam ingatan saya.

Saya masih ingat Bagaimana dengan asiknya membaca satu persatu komik yang ada didalam Lembergar yang setiap edisinya diselipkan di sela-sela halaman koran Pos Kota.

Ritual itulah yang menurut orangtua saya akhirnya membuat saya lancar membaca di usia saya yang ke 4 tahun.

Barangkali hal itulah yang seakan membuat saya dengan Koran Doyok ini selalu punya ikatan emosional, Ibu saya berulang-ulang dengan bangga dan sedikit geli selalu bercerita "itu loh si Nandi, umur 4 tahun udah bisa baca koran Doyok dia"

Rasa rasanya wajar kalau saya lancar membaca karena Doyok, karena memang keluarga saya bertahun-tahun berlanggana koran Pos Kota.

Entah siapa yang perama kali mengenalkan saya pada sosok Doyok ini dan bagaimana hingga akhirnya saya keranjingan membacanya

Bahkan, saya masih ingat jelas bahwa pernah suatu waktu saya dirawat di Rumah Sakit, waktu usia kurang lebih 6 tahun, dan masih lekat diingatan saya bagaimana saya meminta dibawakan Lembergar Doyok itu setiap paginya : )

*******
Dia mengenakan baju lurik khas Jawa dan tidak pernah copot blangkon, celananya ngatung serta sesekali digambarkan mengenakan sendal jepit.

Gayanya yang lugu, kocak serta spontan dalam menanggapi isu - isu update, baik itu mengenai permasalahan sosial, budaya ataupun kejadian lainnya, menjadikan Doyok sangat merakyat dan seakan-akan menjadi suara yang mewakili suara masyarakat kebanyakan.

Gaya yang dibawakan pun nyaris selalu sama, terbagi menjadi rata-rata lima frame. Di frame pertama biasanya Doyok akan muncul dengan gayanya yang sok serius, pun di frame ke-dua dan ke-tiga, Ia masih akan meracau mengenai sebuah permasalahan, tetap dengan gayanya yang agak sok tahu.

Barulah di frame ke empat biasanya muncul karakter-karakter lain yang menjadi lawan bicaranya. Dan di frame terakhir akan ada komentar Final yang diiringi dengan ke-kagetan ataupun ekspresi kocak dari tokoh-tokoh pemeran.

Begitu simple nya si Doyok inilah barangkali yang menjadikan jalan ceritanya mudah diikuti, Ia membawa masalah-masalah yang bisa dibilang berat dengan gayanya yang santai danspontan serta bahasa yang ringan.

********
Sekarang saya sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah membaca edisi cetak si DOyok, selain karena sudah tidak ada yang berlangganan Pos Kota lagi, mungkin sekarang bacaan atau sumber informasi saya sudah bergeser ke hal-hal yang digital alias internet dan tetek bengeknya.

Sesekali saya masih menyempatkan ngintip Lembergar versi digital di website poskota, walaupun sudah sangat amat jarang

Namun, setiap saya dengar ocehan Ibu saya mengenai bagaimana saya dengan lancar bisa membaca "koran Doyok" di usia saya yang masih kecil itu, ingatan saya langsung menuju ke masa-masa kecil tadi, mulai dari situasi, gambar background lingkungan si Doyok yang selalu sama, gigi nya yang nongol, hingga bau koran yang menyengat, seakan masih tersimpan.

Selamat Jalan Pak Kelik "Doyok" Siswoyo, terima kasih atas kenangan visual yang indah di masa lalu yang terbawa hingga kini